Selasa, 17 April 2012

TEKAD DAN SEMANGAT PANGERAN SIDDHARTA

TEKAD DAN SEMANGAT PANGERAN SIDDHARTA 
DALAM MENCAPAI PENERANGAN SEMPURNA


Siddharta

Dalam rangka menyambut kelahiran cucunya, Raja Suddhodana menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak bergembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat mengatasi usia tua, sakit dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.
Raja tidak memberikan izin kepada Pangeran, seperti terlihat dalam percakapan Raja dan Pangeran berikut:
“Ayah, kalau saya tidak diperkenankan untuk mencari obat mengatasi usia tua, sakit dan mati, saya mohon agar Ayah yang memberikan kepadaku delapan macam anugerah “.

“Delapan anugerah itu adalah :
1. Anugerah supaya tidak menjadi tua
2. Anugerah supaya tidak sakit
3. Anugerah supaya tidak mati
4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang
7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia dan mati.

Mendengar pernyataan tersebut, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab, bahwa hal-hal tersebut berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuk putranya dengan mengatakan :
“Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan kehadapan Ayah.” Raja tetap tidak mengizinkan dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasoddhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan haru karena tidak lama lagi beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit dan mati.
Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari yang sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih tanpa terasa akhirnya Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran. Pada tengah malam Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap yang beraneka ragam, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh ke luar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, ada yang mengigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga. .

Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasoddhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka sang bayi tidak dapat terlihat. Pangeran berniat untuk menggeser sedikit tangan istrinya, tetapi hal itu diurungkan karena takut hal itu menyebabkan Yasoddhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati : “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”
Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti Channa yang memegang ekor kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddharta tidak mendapatkan kesulitan waktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.
Para pengawal semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota. Ketika itu Pangeran dicegat oleh Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu Minggu, Pangeran akan menjadi Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Mara yang membuat Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya.
Setelah sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kathakanivattana-cetiya).
Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran genap berusia 29 tahun.

A. Kejadian di Tepi Sungai Anoma
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya dan Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasan dan memberikannya kepada Channa, kemudian mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh dewa Sakka dan membawanya ke sorga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua Anguli (kurang lebih dua inci).
Selanjutnya Brahma Chatikara mempersembahkan kepada Pangeran keperluan seorang Bhikkhu yang terdiri dari: jubah luar jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah Bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.
Channa minta izin kepada Pangeran untuk terus mendampinginya, tetapi Pangeran melarangnya. Pangeran menyuruh Channa pergi membawa perhiasan untuk diberikan kepada Raja dan menyampaikan pesan untuk Ayah, Ibu dan Yasoddhara agar jangan bersedih. Karena Pangeran ingin mencari obat untuk mengatasi usia tua, sakit dan mati.
Channa akhirnya memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan menepuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata :
“Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka ikut dengan Channa tetapi baru jalan tidak seberapa jauh, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang, seolah tidak ingin berpisah dari tuannya, jadi agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhir kalinya. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata.
Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasoddhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya: “O, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kubuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak ?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, dan menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunda dan Yasoddhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi sungai Anoma di negara Malla.
Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddharta, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondanna dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan di mana beliau berada.

B. Simpati Raja Bimbisara
Dari tepi sungai Anoma Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari diam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan pindapata (mengumpulkan dana makanan yang diberikan oleh umat). Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapatkan, perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil pendapatanya. Raja Bimbisara mendapat laporan bahwa seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddharta dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.

“Mengapa anda melakukan hal ini? Apakah anda berselisih paham dengan ayah anda ? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan setengah dari kerajaanku.”
“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”
“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap anda ‘berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
---------


Sumber: Buku pelajaran pendidikan agama buddha berbasis kompetensi kelas 4 SD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar