Jumat, 27 April 2012

Empat Kebenaran Mulia - Ajaran Buddha

Empat Kebenaran Mulia - Ajaran Buddha

 

Namo Buddhaya

 

Pada awalnya Buddha merupakan pembaharu dan guru etika dan bukan seorang ahli metafisika. Pesan pencerahannya menunjukkan kepada manusia jalan hidup yang mengantarnya melampaui penderitaan-penderitaan. 

 

 

Bila seseorang menanyakan masalah metafisika kepada Buddha tentang apakah roh itu berbeda dengan badan, apakah yang mengatasi kematian, apakah dunia ini terbatas atau tak terbatas, abadi atau tidak, dsb. ia menghindar untuk membahasnya. Pembahasan tentang permasalahan guna pemecahan yang tidak cukup bukti hanya akan membawa pada pandangan sebagian seperti pertengkaran satu sisi berkenaan dengan seekor gajah yang diberikan oleh orang-orang buta yang berbeda-beda dalam menyentuh bagian badan gajah tersebut. Buddha menyatakan sejumlah pandangan metafisika semacam itu yang dikemukakan oleh para pemikir yang lebih awal dan menunjukkan bahwa semuanya itu tidak cukup karena semuanya didasarkan pada pengalaman indra tidak pasti, ketagihan, harapan dan ketakutan. Spekulasi semacam itu harusnya dihilangkan, seperti yang berulang-ulang dinyatakan oleh Buddha, dan juga karena hal itu tak akan membawa manusia lebih mendekat pada tujuannya, yaitu ke-arhat-an atau vimutti, yaitu keadaan bebas dari segala penderitaan. Sebaliknya, orang yang melibatkan diri dalam spekulasi semacam itu akan tetap lebih terjerat dalam jala-jala teori yang dianyamnya sendiri. Masalah utama yang lebih penting adalah mengakhiri penderitaan. Mereka yang melibatkan diri dalam spekulasi teoritis tentang roh dan dunia, sementara ia menggeliat dalam kesakitan bersikap seperti orang tolol dengan panah beracun tertancap dipinggangnya, menghabiskan waktunya pada spekulasi tak berguna yang berkaitan dengan asal, si pembuat dan yang melepaskan anak panah tersebut, bukannya mencoba untuk mencabutnya segera.
Sepuluh pertanyaan dibawah ini seringkali dinyatakan oleh Buddha sebagai hal yang tidak pasti, yang secara etis tidak layak dipertanyakan, sehingga tidak dibahas (vyàkata) olehnya, yaitu: 
  1. Apakah dunia ini kekal? 
  2. Apakah ia tidak kekal? 
  3. Apakah ia terbatas? 
  4. Apakah ia tak terbatas? 
  5. Apakah roh sama dengan badan? 
  6. Apakah ia berbeda dengan badan? 
  7. Apakah orang yang telah mengetahui kebenaran (tathàgata), juga lahir kembali setelah kematian? 
  8. Apakah ia tidak lahir kembali setelah mati? 
  9. Apakah ia hidup dan tidak hidup lagi setelah kematian? 
  10. Apakah ia tidak hidup maupun tidak mati lagi setelah kematian? 
Hal ini telah menjadi terkenal sebagai ’pertanyaan-pertanyaan yang tak terpecahkan’ dalam literatur Buddhis dan menjadikannya masalah pembicaraan dalam Saýyutta Nikaya dan Majjhima Nikaya.
Ketimbang membicarakan pertanyaan metafisika yang secara etis tak ada gunanya dan secara intelektual tidak ada kepastiannya, Buddha senantiasa mencoba menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang paling penting tentang penderitaan, asalnya, penghentiannya dan jalan yang menghantar pada penghentian itu. Karena, seperti yang dinyatakannya,: “Hal ini akan memberikan keuntungan yang harus dilakukan dengan dasar agama dan cenderung pada kebencian, ketiadaan nafsu, penghentian, pasif, pengetahuan, kebijaksanaan tertinggi dan nirvàóa.”
Seperti yang kita ketahui, jawaban terhadap empat pertanyaan yang dinyatakan di atas, membentuk inti pencerahan Buddha, yang ingin ia bagikan dengan para pengikutnya. Hal ini kemudian dikenal sebagai empat kebenaran mulia (catvàri àtyasatyàni), yaitu:
(1) kehidupan di dunia ini penuh dengan penderitaan.
(2) Ada penyebab yang menimbulkan penderitaan itu.
(3) tak mungkin menghentikan penderitaan itu.
(4) Ada jalan yang menghantarkan pada penghentian penderitaan (duákha-nirodha-màrga).
Semua ajaran Gautama berpusat di sekitar keempat hal ini.


1.      Kebenaran Mulia Pertama : Penderitaan.

Pemandangan penderitaan yang membingungkan pikiran Siddhàrtha muda adalah tentang penyakit, usia tua dan kematian. Tetapi, bagi pikiran Buddha yang tercerahi, bukan sekedar hal ini saja, tetapi kondisi kehidupan esensial manusia, di bawah manusia yang tampak tanpa terkecuali, untuk dicemaskan dengan penderitaan. Kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, penderitaan, ketakutan, keinginan, putus asa, pendeknya semua yang berasal dari keterikatan adalah penderitaan. Di depan telah dinyatakan bahwa pesimisme jenis ini umum bagi semua aliran pemikiran India; dan dalam penekanan kebenaran mulia Buddha yang pertama memiliki topangan dari semua pemikir India penting. Tentu saja kaum materialistis Càrvàka akan berkeberatan terhadap tuduhan menyeluruh Buddha tentang kehidupan di dunia  dan menyatakan  sumber kesenangan berbeda yang ada dalam kehidupan bersama dengan sumber penderitaannya. Tetapi Buddha dan banyak pemikir India lain akan menjawab bahwa kesenangan duniawi tampaknya demikian itu hanya terhadap pandangan rabun orang-orang. Kesementaraannya, kesedihan yang dirasakan terhadap kehilangan dan ketakutan yang dirasakan kalau-kalau akan kehilangan, dan  akibat-akibat jahat lainnya, membuat kesenangan kehilangan daya tariknya dan merubahnya menjadi sumber ketakutan dan kecemasan yang positif.


2. Kebenaran Mulia Kedua : Penyebab Penderitaan (Rantai Bermata Duabelas)

Walaupun kenyataan akan penderitaan disadari oleh semua pemikir India, diagnose dari malapetaka ini tidak selalu seragam. Asal mula dari kejahatan kehidupan dijelaskan oleh Buddha dari konsepsi khususnya tentang penyebab natural, yang dikenal sebagai pratìtyasamutpàda. Menurutnya, tak sesuatupun yang tak terkondisikan; dimana keberadaan semuanya ini tergantung  pada beberapa kondisi. Karena keberadaan dari setiap peristiwa bergantung pada beberapa kondisi, mestinya ada sesuatu yang  berada disana yang menyebabkan timbulnya penderitaan.  Penderitaan hidup (usia tua, kematian, putus asa, ketakutan dan sejenisnya, yang secara singkat dinyatakan dengan ungkapan jarà-maraóa) terjadi karena adanya kelahiran (jàti), kata Buddha. Bilamana orang tidak lahir, ia tak akan menjadi sasaran keadaan yang penuh penderitaan ini. Kelahiran kembali memiliki kondisinya sendiri. Itulah keinginan untuk menjadi (bhava), atau daya kecenderungan buta  untuk lahir, yang menyebabkan kelahiran kita. Tetapi, apakah penyebab dari kecenderungan ini? Kelekatan atau kegemaran (upàdàna) mental kita pada obyek-obyek dunia adalah kondisi yang bertanggung jawab terhadap keinginan kita untuk lahir. Kelekatan ini juga disebabkan oleh kehausan (tåûóà) kita untuk menikmati obyek-obyek. Tetapi, dari manakah keinginan itu muncul? Kita tak akan memiliki keinginan pada obyek-obyek, bila sebelumnya kita tak pernah merasakan atau pun mengalaminya. Oleh karena itu, pengalaman indra sebelumnya, yang sedikit terwarnai oleh beberapa perasaan senang (vedanà), adalah penyebab kehausan atau kerinduan kita. Tetapi, pengalaman indra tak akan dapat muncul tanpa adanya hubungan (sparúa), yaitu hubungan organ indra dengan obyek. Lagi pula, hubungan ini tidak akan ada bila disana tak ada enam organ pengenalan, yaitu lima indra dan manas (ûadà-yatana). Disamping itu, keenam organ pengenalan ini tergantung pada keberadaannya pada organisme badan-pikiran (nàma-rùpa), yang menjadikan keberadaan manusia yang dapat merasakan.  Tetapi, organisme ini tak akan berkembang dalam kandungan ibu dan lahir bila ia mati atau tanpa kesadaran (vijñàna). Namun, kesadaran yang menurun menjadi janin dalam kandungan sang ibu hanyalah akibat dari kesan-kesan (saýskàra) dari keberadaan masa lalu kita.  Keadaan terakhir dari kehidupan masa lalu, yang  memprakarsai keberadaan kita sekarang ini, mengandung  kesan-kesan dari akibat atau segala perbuatan masa lalu kita yang terkonsentrasikan.  Kesan-kesan yang membuatnya lahir kembali itu disebabkan oleh kebodohan (avidyà) tentang kebenaran. Bila sifat keberadaan duniawi yang menyakitkan dan sementara itu disadari sepenuhnya, tak akan muncul lagi karma apapun yang menyebabkan adanya kelahiran kembali. Oleh karena itu, kebodohan merupakan akar penyebab dari kesan-kesan atau kecenderungan yang menyebabkan kelahiran kembali.
Secara singkat dapat dikatakan, 1) penderitaan dalam kehidupan ini disebabkan oleh 2) kelahiran, yang disebabkan oleh 3) keinginan untuk lahir, yang disebabkan oleh 4) keterikatan mental kita pada obyek. Keterikatan ini disebabkan oleh 5) kehausan atau keinginan pada obyek. Hal ini disebabkan oleh 6) pengalaman indra, yang disebabkan oleh 7) hubungan indra-obyek, yang juga disebabkan oleh 8) enam organ pengenalan; organ-organ ini bergantung pada 9) organisme embryonik (yang menyusun pikiran dan badan), yang tak akan berkembang tanpa 10) beberapa kesadaran awal, yang berasal dari 11) kesan-kesan pengalaman masa lalu, yang disebabkan oleh 12) kebodohan akan kebenaran.
Dengan demikian kita memiliki duabelas mata rantai dalam rangkaian penyebab. Urutan dan jumlah mata rantai tidak selalu sama pada semua wejangan; tetapi yang disebutkan di atas tadi dianggap sebagai perkiraan masalah yang lengkap dan standar.  Hal itu telah dipopulerkan diantara penganut Buddhis dengan berbagai sebutan, seperti: duabelas sumber (dvàdaúa nidàna), roda kelahiran kembali (bhava-cakra). Bahkan hingga sekarang ini beberapa orang Buddhis fanatik mengingatkan dirinya sendiri tentang ajaran Buddha ini dengan menggulirkan roda-roda yang dibuat untuk melambangkan roda penyebab ini. Seperti halnya menghitung tasbih, hal ini membentuk bagian dari doa-doa sehari-hari mereka.

Keduabelas mata rantai di atas kadang-kadang ditafsirkan untuk mewartakan kehidupan masa lalu, masa sekarang dan masa depan yang sebab akibatnya saling berkaitan, sehingga kehidupan yang sekarang ini dapat dijelaskan dengan gamblang dengan mengacu pada kondisi masa lalu dan akibatnya di masa depan. Oleh karena itu, ke duabelas mata rantai itu disusun dengan mengacu pada tiga periode sebagai berikut yang diawali dari penyebab ke akibat.

  1. Kebodohan (avidyà) 
  2. Kesan-kesan (saýskàra) 
  3. Kesadaran awal dari embrio (vijñàna)
  4. Pikiran dan badan sebagai organisme embrionik (nàma-rùpa)
  5. Enam organ pengenalan (ûaðàyatana) 
  6. Hubungan indra (sparúa) 
  7. Pengalaman indra (vedanà)
  8. Keterikatan (tåûóà)
  9. Ketergantungan (upàdàna)
  10. Kecenderungan untuk lahir (bhava)   
  11. Lahir kembali (jàti) 
  12. Usia tua, kematian, dsb. (jarà-maraóa)

Sebelum kita menutup permasalahan ini, kita dapat mencatat satu kontribusi yang sangat penting yang dibuat oleh para pemikir India umumnya dan khususnya Buddha, yaitu: konsep bahwa fenomena eksternal dari kehidupan atau organisme yang hidup disebabkan oleh motivasi internal dari keinginan, disadari maupun tak disadari. Evolusi kehidupan dicoba untuk dijelaskan secara mekanikal oleh para biologis modern, baik Darwinian maupun yang anti Darwinian, dengan bantuan kondisi material, yang turun menurun dan sesuai lingkungannya. Penampakan pertama dari sepasang tanduk pada kepala sapi, atau formasi mata bagi mereka tidak lain dari pada variasi kebetulan, cepat atau pun lambat. Filsuf kontemporer Prancis terkenal, Bergson, menunjukkan bahwa perkembangan kehidupan tak dapat dijelaskan dengan memuaskan, hanya sekedar sebagai kebetulan saja, tetapi hal itu harus dirasakan sebagai ungkapan keluar dari dorongan internal. Prinsip dasar Buddha tentang penjelasan kehidupan adalah bahwa, bhava (sikap awal internal) membawa pada kelahiran keberadaan badan, atau  bahwa kesadaran merupakan kondisi perkembangan dari embrio, mengantisipasi pendapat Bergsonian, bahwa badan yang hidup ini bukan hanya disebabkan oleh kumpulan dari kepingan-kepingan materi saja, tetapi merupakan manifestasi keluar atau ledakan dari dorongan internal. Secara insidental kita juga dapat mencatat  bahwa filosofi Bergson tentang realitas sebagai perubahan, mirip dengan ajaran Buddha tentang ketidak tetapan (impermanensi).


3. Kebenaran Mulia Ketiga : Pelenyapan Penderitaan

Kebenaran mulia yang ketiga bahwa ada pelenyapan penderitaan yang mengikuti dari kebenaran kedua bahwa kesengsaraan bergantung pada beberapa kondisi. Bila kondisi ini dilepaskan, kesengsaraan itupun akan lenyap. Tetapi, kita akan mencoba untuk memahami secara jelas sifat yang pasti dari keadaan yang disebut penghentian (nirodha) dari kesengsaraan itu.
Yang pertama, harus diingat bahwa pembebasan dari kesengsaraan merupakan suatu keadaan yang dapat dicapai dalam kehidupan ini juga, bila kondisi tertentu dipenuhi. Bila pengendalian nafsu yang sempurna dan kontemplasi berkesinambungan tentang kebenaran membawa seseorang  melalui empat tahap konsentrasi pada kebijaksanaan sempurna, ia tidak lagi berada di bawah pengaruh keterikatan duniawi. Ia telah memutuskan rantai pengikat yang membelenggunya pada dunia. Oleh karena itu ia terbebas. Selanjutnya  ia dikatakan telah menjadi seorang Arhat atau orang mulia. Keadaan yang demikian itu sekarang lebih dikenal sebagai nirvàóa, yaitu  pemusnahan nafsu dan tentu saja pemusnahan kesengsaraan.
Selanjutnya, kita harus ingat bahwa pencapaian keadaan ini tidak harus suatu keadaan tidak aktif, seperti anggapan salah selama ini. Benarlah bahwa guna pencapaian pengetahuan yang mantap, jelas dan sempurna dari keempat macam kebenaran itu orang harus menarik seluruh perhatiannya dari dunia luar dan bahkan dari pemikiran-pemikiran internal lain dan mengkonsentrasikan seluruhnya pada  penalaran berulang-ulang dan kontemplasi kebenaran dalam segala aspeknya. Tetapi, sekali kebijaksanaan telah dicapai secara tetap, melalui pemikiran yang dikonsentrasikan, orang yang terbebaskan tadi tidak selalu tetap dalam meditasi atau pun seluruhnya menarik diri dari kehidupan aktif. Kita mengetahui apakah kehidupan aktif dalam bepergian, berkotbah, menegakkan persaudaraan, Buddha sendiri melakukannya selama 45 tahun yang beliau jalani setelah pencerahan dan bahkan hingga pada hari-hari terakhir tahun kedelapan puluh yang dilaluinya. Pembebasan bukanlah ketidak rukunan dengan  aktivitas dalam kehidupan si pendirinya sendiri.

Seperti yang dinyatakan dengan jelas tadi, ada dua jenis kegiatan, yaitu: yang dilakukan di bawah pengaruh keterikatan, kebencian dan keserakahan (ràga, dveûa, moha), dan yang lainnya, adalah kegiatan yang dilakukan tanpa keterikatan. Hanya yang pertama sajalah yang memperkuat keinginan kita untuk melekat pada dunia dan membangkitkan benih-benih karma yang menyebabkan kelahiran kembali. Jenis kedua, yang dilakukan pandangan sempurna ke dalam hakekat sejati dari alam semesta dan tanpa keterikatan, tak akan menciptakan karma yang menghasilkan kelahiran kembali. Buddha menyatakan bahwa, perbedaan antara kedua jenis karma tersebut, adalah seperti perbedaan antara menyebarkan bibit produktif biasanya dan menyebarkan bibit yang telah digoreng dan membuatnya mandul. Ajaran ini beliau ajarkan juga dalam cerita tentang pencerahannya.  Setelah beliau mencapai nirvàóa, beliau pertama-tama enggan untuk bekerja. Tetapi segera hatinya yang tercerahi mulai terketuk dengan rasa simpati terhadap sedemikian banyaknya mahluk yang masih berjuang menggeliat dalam penderitaan. Oleh karena itu, beliau sadar bahwa rakit yang dibangun dengan kerja keras untuk menyeberangi  luapan kesengsaraan mestinya ditinggalkan bagi yang lainnya dan jangan dibiarkan lenyap. Dengan demikian beliau menunjukkan dengan contohnya sendiri bahwa nirvàóa tidak memperkenankan para Arhat untuk menjauhkan diri dari kegiatan; sebaliknya, kasih sayang dan simpati pada semua mahluk bertambah dengan pencerahan dan meyakinkan orang-orang sempurna untuk membagi kebijaksanaannya dengan mereka dan bekerja guna meningkatkan moral mereka.
Bila hal ini merupakan penafsiran yang benar dari kehidupan dan ajaran Buddha, akan salah memiliki pendapat (seperti yang sering terjadi), bahwa nirvàóa berarti pemusnahan total dari keberadaan. Makna etimologi dari kata ’nirvàóa’ adalah ’meniup’. Metafora dari ’sinar yang tertiup’ ada disana; dan yang terbebas kadang-kadang dibandingkan dengan hal itu.  Dengan bergantung pada makna etimologi dan uraian negatif tentang nirvàóa sebagai ketiadaan dari segala keadaan mental dan fisik yang kita kenal, beberapa orang penafsir Bhuddhisme, baik orang Buddha maupun bukan Buddha- telah menjelaskan istilah nirvàóa sebagai pemusnahan sepenuhnya dari keberadaan. Tetapi, terhadap pandangan ini kita harus ingat, pertama: bahwa apabila nirvàóa atau pembebasan merupakan pemusnahan dari segala keberadaan, maka Buddha tak dapat dikatakan bebas hingga beliau wafat; sehingga pencapaian kebijaksanaan dan kesempurnaan beliau akan menjadi sebuah mitos belaka. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menganggap bahwa nirvàóa seperti yang diajarkan Buddha berarti pemusnahan dari segala keberadaan. Yang kedua, kita harus ingat bahwa walaupun nirvàóa yang menurut Buddha merupakan penghentian kelahiran kembali, sehingga berarti pemusnahan dari segala kesengsaraan dan dari kondisi yang menyebabkan adanya keberadaan masa depan di dunia ini setelah kematian, bukan selalu berarti bahwa setelah kematian para orang suci yang terbebas tidak berlanjut dalam wujud apapun. Masalah yang terakhir ini, seperti yang dinyatakan sebelumnya, merupakan salah satu dari 10 permasalahan, yang secara berulang-ulang Buddha menolak untuk mengungkapkan pendapat apapun. Jadi, pandangan bahwa setelah kematian, mereka yang mencapai nirvàóa sama sekali berhenti keberadaannya, merupakan salah satu yang tak mau diungkapkan oleh Buddha. Keberdiaman Buddha mungkin hanya berarti bahwa keadaan pembebasan tak dapat dilukiskan dalam istilah-istilah pengalaman biasa.
Pertanyaan penting yang kemudian muncul disini adalah,: Bila Buddha tidak secara jelas menyatakan tentang nasib orang yang terbebas setelah kematian, menurut beliau apa yang diperolehnya dengan nirvàóa? Perolehannya adalah ganda, yaitu yang negatif dan yang positif. Nirvàóa merupakan jaminan bahwa kelahiran kembali yang kondisinya telah dimusnahkan, tak akan terjadi. Secara positif, nirvàóa juga berarti bahwa seseorang yang telah mencapainya menikmati kedamaian sempurna bahkan dalam kehidupan ini juga selama ia masih hidup setelah mendapatkan pencerahan. Tentu saja kedamaian disini bukan semacam kesenangan yang berasal dari pemenuhan keinginan. Oleh karena itu, ia dikatakan sebagai melampaui kesenangan dan penderitaan duniawi. Tetapi, itu merupakan keadaan ketenangan, keseimbangan dan kemilikan diri tanpa nafsu. Itu tak dapat dilukiskan dalam istilah pengalaman biasa; sehingga cara terbaik untuk memahaminya  berdasarkan pengalaman kita yang tak sempurna ini adalah untuk menyadarinya sebagai penyembuhan dari segala pengalaman yang menyakitkan, yang menyebabkan kita menderita. Kita dapat memahami hal ini karena semua dari kita telah mengalami setidak-tidaknya perasaan sembuh dari beberapa penderitaan sementara, seperti bebas dari penyakit, keragu-raguan, perbudakan, hukuman dan lain sebagainya. Di samping itu, keuntungan nirvàóa dapat dinikmati sebagian, walaupun ia belum dapat diperoleh, dengan pemenuhan sebagian dari kondisinya. Seperti yang dijelaskan Buddha kepada raja Ajàtaúatru, dalam  pembicaraan mengenai keuntungan hidup dari seorang pertapa, dimana setiap bagian kecil kebodohan terlepaskan dan nafsu tertundukkan, dan memberinya keuntungan yang jelas, seperti kemurnian, kebajikan, keberanian, percaya diri, pikiran yang tenang, serta emosi yang tenang. Hal ini memberinya semangat dan kekuatan untuk mengejar tujuan nirvàóa yang sulit itu hingga diperoleh sepenuhnya.
Kita mengetahui bahwa guru Buddhis yang sangat terkenal berikutnya, Nàgasena, sementara mengajar raja Yunani, Menander (Milinda) yang menerimanya sebagai murid, mencoba untuk menyampaikan kepadanya gagasan tentang ciri-ciri nirvàóa yang penuh kebahagiaan, dengan serangkaian metafora seperti: nirvàóa itu sangat mendalam seperti samudra, menakjubkan seperti puncak pegunungan, manis bagaikan madu, dsb.  Tetapi semuanya ini, seperti yang dinyatakan Nàgasena,  tentu saja tidak dapat menyampaikan gagasan tentang hal itu pada orang-orang yang belum sempurna. Penalaran dan metafora hanya sedikit membantu meyakinkan orang buta, tentang seperti apakah warna itu.


4. Kebenaran Mulia Keempat : Jalan Pembebasan

Seperti terlihat sebelumnya, kebenaran mulia keempat menyatakan bahwa ada suatu jalan (màrga) - yang ditempuh Buddha dan yang lainnya dapat pula mengikutinya- untuk mencapai keadaan bebas dari kesengsaraan. Petunjuk yang berkenaan dengan jalan ini diperoleh dari pengetahuan dari kondisi pokok yang menyebabkan kesengsaraan. Jalan yang disarankan Buddha terdiri dari delapan tahapan atau aturan, sehingga disebut  delapan macam jalan mulia (aûþàògika-màrga). hal ini secara singkat memberikan intisari dari etika Bauddha. Jalan ini terbuka bagi semua orang, para biksu maupun orang-orang awam. Jalan mulia tersebut terkandung dalam pencarian delapan hal baik, sebagai berikut:

Pandangan yang benar  (sammàdiþþhi atau samyagdåûþi)- Karena kebodohan dengan akibat-akibatnya, yaitu pandangan yang salah (mithyàdåûþi) tentang sang diri dan dunia merupakan akar penyebab penderitaan kita, wajar apabila langkah pertama menuju reformasi moral harus menjadi pencarian pandangan yang benar atau pengetahuan kebenaran. Pandangan yang benar dinyatakan sebagai pengetahuan yang benar tentang empat kebenaran mulia. Hanya pengetahuan kebenaran ini sajalah, dan bukan spekulasi teoritis yang berkenaan dengan alam dan sang diri, yang menurut Buddha, dapat membantu reformasi moral, dan membawa kita pada tujuan- nirvàóa

Keputusan yang benar  (sammàsaòkappa atau samyaksaòkalpa) - Sekedar pengetahuan kebenaran saja tak akan  ada gunanya kecuali seseorang memutuskan untuk merubah kehidupan dalam penerangan mereka.  Oleh karena itu para sàdhaka yang bermoral diminta untuk melepaskan keduniawian (segala keterikatan pada dunia), melepaskan segala rasa sakit terhadap orang lain dan berhenti dari perbuatan menyakiti mereka. Ketiganya ini membentuk isi dari penentuan yang benar. 

Berkata yang benar (sammàvàcà atau samyagvàk) - Penentuan yang benar hendaknya jangan tinggal sekedar menjadi ’harapan alim’ semata, tetapi harus dilaksanakan menjadi kegiatan. Penentuan yang benar harus mampu menuntun dan mengendalikan pembicaraan kita, untuk memulainya. Hasilnya harus menjadi pembicaraan yang benar, yang terkandung dalam penolakan dari kebohongan, fitnah, kata-kata yang kasar dan pembicaraan yang sembrono.

Perilaku yang benar (sammàkammanta atau samyak karmànta) - Penentuan yang baik harus berakhir pada kegiatan yang benar atau perilaku yang baik dan tidak berhenti hanya dengan perkataan yang baik. Perilaku yang benar termasuk Pañca Úìla, yaitu lima sumpah untuk berhenti dari membunuh, mencuri, berbohong, sensualitas dan mabuk-mabukan.

Mata pencarian yang benar (sammà-àjìva atau samyagàjìva) - Meninggalkan perkataan yang buruk dan kegiatan yang buruk, seseorang hendaknya mendapatkan mata pencariannya dengan cara yang jujur. Pentingnya aturan ini terkandung dalam menunjukkan bahwa demi untuk menyelenggarakan kehidupannya, seseorang hendaknya tidak melakukan kegiatan terlarang tetapi bekerja dalam kemantapan dengan penentuan yang baik. 

Usaha yang benar (sammàvàyàma atau samyagvyàyàma) - Sementara seseorang mencoba untuk menjalani kehidupan yang diperbaiki, melalui pandangan, resolusi, perkataan, kegiatan dan mata pencarian yang benar, ia secara terus menerus dihentikan dari jalan yang benar oleh gagasan jahat sebelumnya yang telah berakar dalam pikiran seperti juga oleh gagasan baru yang muncul terus-menerus. Seseorang tak dapat maju secara mantap kecuali ia memelihara usaha yang konstan untuk menjebol pemikiran-pemikiran jahat sebelumnya dan mencegah munculnya pemikiran jahat yang baru. Di samping itu, karena pikiran tak dapat dikosongkan sama sekali, ia secara konstan harus juga berusaha untuk mengisi pikiran dengan gagasan-gagasan baik dan mempertahankan gagasan semacam itu dalam pikiran.  Keempat usaha konstan yang negatif dan yang positif ini disebut usaha yang benar. Aturan ini menunjukkan bahwa bahkan seseorang yang tinggi dijalan ini tak akan mampu untuk bebas dari moral tanpa mengalami resiko kemerosotan.  

Perhatian yang benar (sammàsati atau samyaksmåti) - Pentingnya  kewaspadaan ditekankan lebih jauh dalam aturan ini, yang menyatakan bahwa sàdhaka harus senantiasa mematrikan dalam pikirannya hal-hal yang telah dipelajarinya. Ia harus senantiasa ingat dan merenungkan badan sebagai badan, sensasi sebagai sensasi, pikiran sebagai pikiran, keadaan mental sebagai keadaan mental.  Tentang salah satu dari hal tadi, ia hendaknya jangan berpikir, “Ini adalah aku”, atau “Ini adalah milikku.” Alasan yang logis ini tidak lebih baik dari pada meminta seseorang untuk berpikir tentang sekop sebagai sekop. Tetapi secara lebih menggelikan tampaknya tidak mudah untuk mengingatnya selalu hal apa sebenarnya itu. Semuanya lebih sulit untuk melaksanakannya bila gagasan-gagasan palsu tentang badan, dsb. telah demikian dalam berakar pada diri kita dan perilaku kita yang didasarkan pada pernyataan palsu ini telah menjadi bersifat naluriah. Bila kita tidak memperhatikan, kita bertingkah laku seakan-akan badan, pikiran, sensasi dan keadaan mental adalah permanen dan berharga. Karena itu akan timbul keterikatan terhadap hal-hal semacam itu dan sedih atas kehilangannya dan kita menjadi sasaran keterikatan dan kesengsaraan. Tetapi perenungan pada sifat lemah, mudah rusak, sangat menjijikkan dari hal-hal ini, akan membantu kita untuk tetap bebas dari keterikatan dan kesedihan. Inilah pentingnya perhatian yang konstan tentang kebenaran. Dalam dìgha-nikàya, sutta 22, Buddha  memberikan  instruksi yang sangat rinci, mengenai bagaimana kontemplasi semacam itu harus dilaksanakan. Umpamanya, dengan penganggapan badan, seseorang harus ingat dan merenungkan bahwa badan hanyalah kombinasi dari empat unsur (tanah, air, api dan udara) yang dipenuhi dengan materi yang sangat menjijikkan seperti daging, tulang, kulit, isi perut, kotoran, empedu, lendir, darah, nanah dsb. Berlanjut pada sebuah makam orang harus melihat lebih lanjut bagaimana badan yang mati menjadi busuk, hancur, dimangsa anjing dan burung-burung Hering dan setelah itu secara berangsur-angsur lenyap dan bercampur dengan unsur-unsur asal. Dengan kontemplasi yang intensif semacam itu, ia mampu mengingat apa sebenarnya badan itu: betapa menjijikkan, betapa mudahnya ia rusak, betapa sementaranya ia! “Ia akan melepaskan segala emosi dan keterikatan palsu terhadap badannya sendiri maupun yang lainnya.” Dengan kontemplasi intensif yang sama tentang sensasi, pikiran dan keadaan mental yang menyakitkan, ia akan bebas dari keterikatan dan kesedihan yang berkenaan dengan segalanya ini. Akibat akhir dari empat serangkai kontemplasi intensif ini adalah keterlepasan dari segala obyek yang mengikat manusia pada dunia. 

Konsentrasi yang benar (samàsamàdhi atau samyaksamàdhi) - Orang yang secara berhasil telah membawa hidupnya menurut tujuh aturan terakhir dan dengan itu membebaskan dirinya sendiri dari segala nafsu dan pemikiran-pemikiran jahat, layak untuk memasuki secara bertahap ke dalam empat tahapan yang semakin dalam dari konsentrasi yang secara bertahap membawanya pada tujuan dari perjalanannya yang panjang dan sulit - yaitu penghentian dari penderitaan. Ia mengkonsentrasikan pikirannya yang murni dan tenang pada penalaran (vitarka) dan penyelidikan (vicàra) yang berkenaan dengan kebenaran dan menikmati keadaan ini, kegembiraan dan ketenteraman, yang lahir dari keterlepasan dan pemikiran murni. Ini merupakan tahapan pertama dari meditasi yang intensif (jhàna atau dhyàna).

Bila konsentrasi ini berhasil, percaya pada empat serangkai kebenaran itu muncul yang melenyapkan segala keragu-raguan, sehingga membuat penalaran dan penyelidikan tidak diperlukan. Dari hasil ini tahapan kedua dari konsentrasi dimana terdapat kegembiraan, kedamaian dan ketenangan internal yang melahirkan kontemplasi yang intensif dan tenang. Pada tahapan ini terdapat juga  kesadaran tentang kegembiraan dan kedamaian ini.
Pada tahapan selanjutnya ia berusaha untuk memprakarsai suatu sikap tidak perbedaan, untuk dapat melepaskan dirinya bahkan dari kegembiraan konsentrasi. Dari hal ini berakibat jenis konsentrasi lebih dalam yang ketiga, dimana orang mengalami ketenangan sempurna, yang berpasangan dengan pengalaman ketenangan jasmani. Namun ia sadar akan ketenangan dan ketenteraman, walaupun netral terhadap kegembiraan konsentrasi.
Akhirnya, ia mencoba untuk melepaskan bahkan kesadaran akan ketenangan dan ketenteraman dan segala rasa senang dan kegembiraan yang sebelumnya dimilikinya. Dengan demikian, ia akan mencapai keadaan kontemplasi keempat, keadaan ketenangan sempurna, netral dan ketenteraman tanpa penderitaan. Jadi, ia mencapai tujuan yang diinginkan tentang penghentian dari segala penderitaan, mencapai ke-arhat-an atau nirvàóa, yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan sempurna (prajñà) dan kebajikan sempurna (úìla).

Untuk meringkas masalah pokok dari delapan jalan, pertama-tama dapat dicatat bahwa jalan tersebut mengandung tiga hal utama, yaitu perilaku (úìla), konsentrasi (samàdhi) dan pengetahuan (prajñà) yang diusahakan secara selaras. Dalam  filosofi India, pengetahuan dan moralitas dianggap tak terpisahkan - bukan hanya karena moralitas bergantung pada pengetahuan tentang apa yang baik, dimana semua filsuf akan sependapat, tetapi juga karena kesempurnaan pengetahuan dianggap tak mungkin tanpa moralitas, pengendalian nafsu yang sempurna dan keadilan. Secara eksplisit Buddha menyatakan dalam salah satu wejangannya bahwa kebajikan dan kebijaksanaan saling memurnikan dan keduanya tak dapat dipisahkan.  Pada delapan macam jalan salah satu berawal dengan ’pandangan yang benar’ - semata-mata merupakan pemahaman intelektual dari empat kebenaran. Pikiran masih belum melenyapkan gagasan-gagasan salah dan nafsu sebelumnya atau emosi salah yang muncul dari padanya; di samping kebiasaan berpikir, berbicara dan berbuat sebelumnya masih juga berlanjut. Dalam satu kata, kekuatan yang bertentangan, yaitu kekuatan baru yang baik dan kekuatan jahat yang lama - dalam istilah psikologi modern, menciptakan personalitas yang terbagi (terpisah). Tujuh tahapan yang berawal dengan penentuan yang benar, melengkapi disiplin berkesinambungan guna memecahkan pertentangan ini dengan memperbaiki personalitas lama. Kontemplasi yang berulang-ulang dari apa yang sejati dan baik, dengan melatih kehendak dan emosi, akhirnya melalui penetapan yang mantap dan sikap yang tenang, secara berangsur-angsur mencapai personalitas yang selaras dimana pemikiran dan kehendak serta emosi semuanya halus dan termurnikan menurut kebenaran. Langkah terakhir dari konsentrasi sempurna menjadi mungkin oleh lepasnya segala rintangan. Hasil dari konsentrasi yang tak terhalangi pada kebenaran ini merupakan kebijaksanaan atau kemampuan pemahaman yang sempurna, terhadap mana teka-teki keberadaan tampil menunjukkan dirinya secara jelas untuk selama-lamanya. Kebodohan dan keinginan terpotong akarnya dan sumber kesengsaraan lenyap. Kebijaksanaan, kebajikan, dan ketenangan sempurna - yang sepenuhnya sembuh dari penderitaan - merupakan pencapaian simultan dalam nirvàóa.

Sadhu Sadhu Sadhu

1 komentar: