Empat Kebenaran Mulia - Ajaran Buddha
Namo Buddhaya
Pada awalnya Buddha merupakan pembaharu dan guru etika dan bukan seorang ahli metafisika. Pesan pencerahannya menunjukkan kepada manusia jalan hidup yang mengantarnya melampaui penderitaan-penderitaan.
Bila seseorang menanyakan masalah metafisika
kepada Buddha tentang apakah roh itu
berbeda dengan badan, apakah yang mengatasi kematian, apakah dunia ini terbatas
atau tak terbatas, abadi atau tidak, dsb. ia menghindar untuk membahasnya.
Pembahasan tentang permasalahan guna pemecahan yang tidak cukup bukti hanya
akan membawa pada pandangan sebagian seperti pertengkaran satu sisi berkenaan
dengan seekor gajah yang diberikan oleh orang-orang buta yang berbeda-beda
dalam menyentuh bagian badan gajah tersebut. Buddha menyatakan sejumlah
pandangan metafisika semacam itu yang dikemukakan oleh para pemikir yang lebih
awal dan menunjukkan bahwa semuanya itu tidak cukup karena semuanya didasarkan
pada pengalaman indra tidak pasti, ketagihan, harapan dan ketakutan. Spekulasi
semacam itu harusnya dihilangkan, seperti yang berulang-ulang dinyatakan oleh Buddha,
dan juga karena hal itu tak akan membawa manusia lebih mendekat pada tujuannya,
yaitu ke-arhat-an atau vimutti, yaitu keadaan bebas dari segala
penderitaan. Sebaliknya, orang yang melibatkan diri dalam spekulasi semacam itu
akan tetap lebih terjerat dalam jala-jala teori yang dianyamnya sendiri.
Masalah utama yang lebih penting adalah mengakhiri penderitaan. Mereka yang
melibatkan diri dalam spekulasi teoritis tentang roh dan dunia, sementara ia
menggeliat dalam kesakitan bersikap seperti orang tolol dengan panah beracun tertancap
dipinggangnya, menghabiskan waktunya pada spekulasi tak berguna yang berkaitan
dengan asal, si pembuat dan yang melepaskan anak panah tersebut, bukannya
mencoba untuk mencabutnya segera.
Sepuluh
pertanyaan dibawah ini seringkali dinyatakan oleh Buddha sebagai hal yang tidak pasti, yang
secara etis tidak layak dipertanyakan, sehingga tidak dibahas (vyàkata) olehnya,
yaitu:
- Apakah dunia ini kekal?
- Apakah ia tidak kekal?
- Apakah ia terbatas?
- Apakah ia tak terbatas?
- Apakah roh sama dengan badan?
- Apakah ia berbeda dengan badan?
- Apakah orang yang telah mengetahui kebenaran (tathàgata), juga lahir kembali setelah kematian?
- Apakah ia tidak lahir kembali setelah mati?
- Apakah ia hidup dan tidak hidup lagi setelah kematian?
- Apakah ia tidak hidup maupun tidak mati lagi setelah kematian?
Hal ini telah menjadi terkenal sebagai
’pertanyaan-pertanyaan yang tak terpecahkan’ dalam literatur Buddhis dan
menjadikannya masalah pembicaraan dalam Saýyutta Nikaya dan Majjhima
Nikaya.
Ketimbang
membicarakan pertanyaan metafisika yang secara etis tak ada gunanya dan secara
intelektual tidak ada kepastiannya, Buddha senantiasa mencoba
menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang paling penting tentang penderitaan,
asalnya, penghentiannya dan jalan yang menghantar pada penghentian itu. Karena,
seperti yang dinyatakannya,: “Hal ini akan memberikan keuntungan yang harus
dilakukan dengan dasar agama dan cenderung pada kebencian, ketiadaan nafsu,
penghentian, pasif, pengetahuan, kebijaksanaan tertinggi dan nirvàóa.”
Seperti yang kita
ketahui, jawaban terhadap empat pertanyaan yang dinyatakan di atas, membentuk
inti pencerahan Buddha, yang ingin ia bagikan dengan para pengikutnya. Hal ini
kemudian dikenal sebagai empat kebenaran mulia (catvàri àtyasatyàni),
yaitu:
(1) kehidupan di dunia ini
penuh dengan penderitaan.
(2) Ada penyebab yang
menimbulkan penderitaan itu.
(3) tak mungkin menghentikan
penderitaan itu.
(4) Ada jalan yang
menghantarkan pada penghentian penderitaan (duákha-nirodha-màrga).
Semua ajaran Gautama
berpusat di sekitar keempat hal ini.
1.
Kebenaran Mulia Pertama : Penderitaan.
Pemandangan
penderitaan yang membingungkan pikiran Siddhàrtha muda adalah tentang
penyakit, usia tua dan kematian. Tetapi, bagi pikiran Buddha yang
tercerahi, bukan sekedar hal ini saja, tetapi kondisi kehidupan esensial
manusia, di bawah manusia yang tampak tanpa terkecuali, untuk dicemaskan dengan
penderitaan. Kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, penderitaan, ketakutan,
keinginan, putus asa, pendeknya semua yang berasal dari keterikatan adalah
penderitaan. Di depan telah dinyatakan bahwa pesimisme jenis ini umum bagi
semua aliran pemikiran India; dan dalam penekanan kebenaran mulia Buddha
yang pertama memiliki topangan dari semua pemikir India penting. Tentu saja
kaum materialistis Càrvàka akan berkeberatan terhadap tuduhan menyeluruh
Buddha tentang kehidupan di dunia
dan menyatakan sumber kesenangan
berbeda yang ada dalam kehidupan bersama dengan sumber penderitaannya. Tetapi Buddha
dan banyak pemikir India lain akan menjawab bahwa kesenangan duniawi tampaknya
demikian itu hanya terhadap pandangan rabun orang-orang. Kesementaraannya,
kesedihan yang dirasakan terhadap kehilangan dan ketakutan yang dirasakan
kalau-kalau akan kehilangan, dan
akibat-akibat jahat lainnya, membuat kesenangan kehilangan daya tariknya
dan merubahnya menjadi sumber ketakutan dan kecemasan yang positif.
2. Kebenaran Mulia Kedua : Penyebab Penderitaan (Rantai
Bermata Duabelas)
Walaupun
kenyataan akan penderitaan disadari oleh semua pemikir India, diagnose dari
malapetaka ini tidak selalu seragam. Asal mula dari kejahatan kehidupan
dijelaskan oleh Buddha dari konsepsi khususnya tentang penyebab natural,
yang dikenal sebagai pratìtyasamutpàda. Menurutnya, tak sesuatupun yang
tak terkondisikan; dimana keberadaan semuanya ini tergantung pada beberapa kondisi. Karena keberadaan dari
setiap peristiwa bergantung pada beberapa kondisi, mestinya ada sesuatu yang berada disana yang menyebabkan timbulnya
penderitaan. Penderitaan hidup (usia
tua, kematian, putus asa, ketakutan dan sejenisnya, yang secara singkat
dinyatakan dengan ungkapan jarà-maraóa) terjadi karena adanya kelahiran (jàti),
kata Buddha. Bilamana orang tidak lahir, ia tak akan menjadi sasaran
keadaan yang penuh penderitaan ini. Kelahiran kembali memiliki kondisinya
sendiri. Itulah keinginan untuk menjadi (bhava), atau daya kecenderungan
buta untuk lahir, yang menyebabkan
kelahiran kita. Tetapi, apakah penyebab dari kecenderungan ini? Kelekatan atau
kegemaran (upàdàna) mental kita pada obyek-obyek dunia adalah kondisi
yang bertanggung jawab terhadap keinginan kita untuk lahir. Kelekatan ini juga
disebabkan oleh kehausan (tåûóà) kita untuk menikmati obyek-obyek. Tetapi,
dari manakah keinginan itu muncul? Kita tak akan memiliki keinginan pada
obyek-obyek, bila sebelumnya kita tak pernah merasakan atau pun mengalaminya.
Oleh karena itu, pengalaman indra sebelumnya, yang sedikit terwarnai oleh
beberapa perasaan senang (vedanà), adalah penyebab kehausan atau
kerinduan kita. Tetapi, pengalaman indra tak akan dapat muncul tanpa adanya
hubungan (sparúa), yaitu hubungan organ indra dengan obyek. Lagi pula,
hubungan ini tidak akan ada bila disana tak ada enam organ pengenalan, yaitu
lima indra dan manas (ûadà-yatana). Disamping itu, keenam organ
pengenalan ini tergantung pada keberadaannya pada organisme badan-pikiran (nàma-rùpa),
yang menjadikan keberadaan manusia yang dapat merasakan. Tetapi, organisme ini tak akan berkembang
dalam kandungan ibu dan lahir bila ia mati atau tanpa kesadaran (vijñàna). Namun,
kesadaran yang menurun menjadi janin dalam kandungan sang ibu hanyalah akibat
dari kesan-kesan (saýskàra) dari keberadaan masa lalu kita. Keadaan terakhir dari kehidupan masa lalu,
yang memprakarsai keberadaan kita
sekarang ini, mengandung kesan-kesan
dari akibat atau segala perbuatan masa lalu kita yang terkonsentrasikan. Kesan-kesan yang membuatnya lahir kembali itu
disebabkan oleh kebodohan (avidyà) tentang kebenaran. Bila sifat
keberadaan duniawi yang menyakitkan dan sementara itu disadari sepenuhnya, tak
akan muncul lagi karma apapun yang menyebabkan adanya kelahiran kembali. Oleh
karena itu, kebodohan merupakan akar penyebab dari kesan-kesan atau
kecenderungan yang menyebabkan kelahiran kembali.
Secara singkat
dapat dikatakan, 1) penderitaan dalam kehidupan ini
disebabkan oleh 2) kelahiran, yang disebabkan oleh 3) keinginan untuk lahir, yang disebabkan oleh 4) keterikatan mental kita pada obyek.
Keterikatan ini disebabkan oleh 5) kehausan atau keinginan pada
obyek. Hal ini disebabkan oleh 6) pengalaman indra, yang disebabkan oleh 7) hubungan indra-obyek, yang juga disebabkan
oleh 8) enam organ pengenalan; organ-organ ini bergantung
pada 9) organisme embryonik (yang menyusun pikiran
dan badan), yang tak akan berkembang tanpa 10) beberapa kesadaran awal, yang berasal dari 11) kesan-kesan pengalaman masa lalu,
yang disebabkan oleh 12) kebodohan akan kebenaran.
Dengan demikian
kita memiliki duabelas mata rantai dalam rangkaian penyebab. Urutan dan jumlah
mata rantai tidak selalu sama pada semua wejangan; tetapi yang disebutkan di
atas tadi dianggap sebagai perkiraan masalah yang lengkap dan standar. Hal itu telah dipopulerkan diantara penganut
Buddhis dengan berbagai sebutan, seperti: duabelas sumber (dvàdaúa nidàna),
roda kelahiran kembali (bhava-cakra). Bahkan hingga sekarang ini
beberapa orang Buddhis fanatik mengingatkan dirinya sendiri tentang ajaran
Buddha ini dengan menggulirkan roda-roda yang dibuat untuk melambangkan roda
penyebab ini. Seperti halnya menghitung tasbih, hal ini membentuk bagian dari
doa-doa sehari-hari mereka.
Keduabelas
mata rantai di atas kadang-kadang ditafsirkan untuk mewartakan kehidupan masa
lalu, masa sekarang dan masa depan yang sebab akibatnya saling berkaitan,
sehingga kehidupan yang sekarang ini dapat dijelaskan dengan gamblang dengan
mengacu pada kondisi masa lalu dan akibatnya di masa depan. Oleh karena itu, ke
duabelas mata rantai itu disusun dengan mengacu pada tiga periode sebagai
berikut yang diawali dari penyebab ke akibat.
1. Kebodohan
(avidyà)
2. Kesan-kesan
(saýskàra)
3. Kesadaran
awal dari embrio (vijñàna)
4. Pikiran
dan badan sebagai organisme embrionik (nàma-rùpa)
5. Enam
organ pengenalan (ûaðàyatana)
6. Hubungan
indra (sparúa)
7. Pengalaman
indra (vedanà)
8. Keterikatan
(tåûóà)
9. Ketergantungan
(upàdàna)
10. Kecenderungan
untuk lahir (bhava)
11. Lahir
kembali (jàti)
12. Usia
tua, kematian, dsb. (jarà-maraóa)
Sebelum kita menutup permasalahan ini, kita
dapat mencatat satu kontribusi yang sangat penting yang dibuat oleh para
pemikir India umumnya dan khususnya Buddha, yaitu: konsep bahwa fenomena
eksternal dari kehidupan atau organisme yang hidup disebabkan oleh motivasi
internal dari keinginan, disadari maupun tak disadari. Evolusi kehidupan dicoba
untuk dijelaskan secara mekanikal oleh para biologis modern, baik Darwinian
maupun yang anti Darwinian, dengan bantuan kondisi material, yang turun menurun
dan sesuai lingkungannya. Penampakan pertama dari sepasang tanduk pada kepala
sapi, atau formasi mata bagi mereka tidak lain dari pada variasi kebetulan,
cepat atau pun lambat. Filsuf kontemporer Prancis terkenal, Bergson,
menunjukkan bahwa perkembangan kehidupan tak dapat dijelaskan dengan memuaskan,
hanya sekedar sebagai kebetulan saja, tetapi hal itu harus dirasakan sebagai
ungkapan keluar dari dorongan internal. Prinsip dasar Buddha tentang penjelasan
kehidupan adalah bahwa, bhava (sikap awal internal) membawa pada
kelahiran keberadaan badan, atau bahwa
kesadaran merupakan kondisi perkembangan dari embrio, mengantisipasi pendapat
Bergsonian, bahwa badan yang hidup ini bukan hanya disebabkan oleh kumpulan
dari kepingan-kepingan materi saja, tetapi merupakan manifestasi keluar atau
ledakan dari dorongan internal. Secara insidental kita juga dapat mencatat bahwa filosofi Bergson tentang realitas
sebagai perubahan, mirip dengan ajaran Buddha tentang ketidak tetapan
(impermanensi).
3. Kebenaran
Mulia Ketiga : Pelenyapan Penderitaan
Kebenaran mulia
yang ketiga bahwa ada pelenyapan penderitaan yang mengikuti dari kebenaran
kedua bahwa kesengsaraan bergantung pada beberapa kondisi. Bila kondisi ini
dilepaskan, kesengsaraan itupun akan lenyap. Tetapi, kita akan mencoba untuk
memahami secara jelas sifat yang pasti dari keadaan yang disebut penghentian (nirodha)
dari kesengsaraan itu.
Yang pertama,
harus diingat bahwa pembebasan dari kesengsaraan merupakan suatu keadaan yang
dapat dicapai dalam kehidupan ini juga, bila kondisi tertentu dipenuhi. Bila
pengendalian nafsu yang sempurna dan kontemplasi berkesinambungan tentang
kebenaran membawa seseorang melalui
empat tahap konsentrasi pada kebijaksanaan sempurna, ia tidak lagi berada di
bawah pengaruh keterikatan duniawi. Ia telah memutuskan rantai pengikat yang
membelenggunya pada dunia. Oleh karena itu ia terbebas. Selanjutnya ia dikatakan telah menjadi seorang Arhat
atau orang mulia. Keadaan yang demikian itu sekarang lebih dikenal sebagai
nirvàóa, yaitu pemusnahan nafsu dan
tentu saja pemusnahan kesengsaraan.
Selanjutnya, kita
harus ingat bahwa pencapaian keadaan ini tidak harus suatu keadaan tidak aktif,
seperti anggapan salah selama ini. Benarlah bahwa guna pencapaian pengetahuan
yang mantap, jelas dan sempurna dari keempat macam kebenaran itu orang harus
menarik seluruh perhatiannya dari dunia luar dan bahkan dari
pemikiran-pemikiran internal lain dan mengkonsentrasikan seluruhnya pada penalaran berulang-ulang dan kontemplasi
kebenaran dalam segala aspeknya. Tetapi, sekali kebijaksanaan telah dicapai
secara tetap, melalui pemikiran yang dikonsentrasikan, orang yang terbebaskan
tadi tidak selalu tetap dalam meditasi atau pun seluruhnya menarik diri dari
kehidupan aktif. Kita mengetahui apakah kehidupan aktif dalam bepergian,
berkotbah, menegakkan persaudaraan, Buddha sendiri melakukannya selama
45 tahun yang beliau jalani setelah pencerahan dan bahkan hingga pada hari-hari
terakhir tahun kedelapan puluh yang dilaluinya. Pembebasan bukanlah ketidak
rukunan dengan aktivitas dalam kehidupan
si pendirinya sendiri.
Seperti yang dinyatakan dengan jelas tadi, ada dua jenis kegiatan,
yaitu: yang dilakukan di bawah pengaruh keterikatan, kebencian dan keserakahan (ràga,
dveûa, moha), dan yang lainnya, adalah kegiatan yang dilakukan tanpa
keterikatan. Hanya yang pertama sajalah yang memperkuat keinginan kita untuk
melekat pada dunia dan membangkitkan benih-benih karma yang menyebabkan
kelahiran kembali. Jenis kedua, yang dilakukan pandangan sempurna ke dalam
hakekat sejati dari alam semesta dan tanpa keterikatan, tak akan menciptakan karma
yang menghasilkan kelahiran kembali. Buddha menyatakan bahwa, perbedaan
antara kedua jenis karma tersebut, adalah seperti perbedaan antara
menyebarkan bibit produktif biasanya dan menyebarkan bibit yang telah digoreng
dan membuatnya mandul. Ajaran ini beliau ajarkan juga dalam cerita tentang
pencerahannya. Setelah beliau mencapai nirvàóa,
beliau pertama-tama enggan untuk bekerja. Tetapi segera hatinya yang tercerahi
mulai terketuk dengan rasa simpati terhadap sedemikian banyaknya mahluk yang
masih berjuang menggeliat dalam penderitaan. Oleh karena itu, beliau sadar
bahwa rakit yang dibangun dengan kerja keras untuk menyeberangi luapan kesengsaraan mestinya ditinggalkan
bagi yang lainnya dan jangan dibiarkan lenyap. Dengan demikian beliau
menunjukkan dengan contohnya sendiri bahwa nirvàóa tidak memperkenankan
para Arhat untuk menjauhkan diri dari kegiatan; sebaliknya, kasih sayang
dan simpati pada semua mahluk bertambah dengan pencerahan dan meyakinkan
orang-orang sempurna untuk membagi kebijaksanaannya dengan mereka dan bekerja
guna meningkatkan moral mereka.
Bila hal ini merupakan penafsiran yang benar dari kehidupan dan
ajaran Buddha, akan salah memiliki pendapat (seperti yang sering
terjadi), bahwa nirvàóa berarti pemusnahan total dari keberadaan. Makna
etimologi dari kata ’nirvàóa’ adalah ’meniup’. Metafora dari
’sinar yang tertiup’ ada disana; dan yang terbebas kadang-kadang
dibandingkan dengan hal itu. Dengan
bergantung pada makna etimologi dan uraian negatif tentang nirvàóa sebagai
ketiadaan dari segala keadaan mental dan fisik yang kita kenal, beberapa orang
penafsir Bhuddhisme, baik orang Buddha maupun bukan Buddha- telah
menjelaskan istilah nirvàóa sebagai pemusnahan sepenuhnya dari
keberadaan. Tetapi, terhadap pandangan ini kita harus ingat, pertama: bahwa
apabila nirvàóa atau pembebasan merupakan pemusnahan dari segala keberadaan,
maka Buddha tak dapat dikatakan bebas hingga beliau wafat; sehingga
pencapaian kebijaksanaan dan kesempurnaan beliau akan menjadi sebuah mitos
belaka. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menganggap bahwa nirvàóa seperti
yang diajarkan Buddha berarti pemusnahan dari segala keberadaan. Yang
kedua, kita harus ingat bahwa walaupun nirvàóa yang menurut Buddha merupakan
penghentian kelahiran kembali, sehingga berarti pemusnahan dari segala
kesengsaraan dan dari kondisi yang menyebabkan adanya keberadaan masa depan di
dunia ini setelah kematian, bukan selalu berarti bahwa setelah kematian para
orang suci yang terbebas tidak berlanjut dalam wujud apapun. Masalah yang
terakhir ini, seperti yang dinyatakan sebelumnya, merupakan salah satu dari 10
permasalahan, yang secara berulang-ulang Buddha menolak untuk
mengungkapkan pendapat apapun. Jadi, pandangan bahwa setelah kematian, mereka
yang mencapai nirvàóa sama sekali berhenti keberadaannya, merupakan
salah satu yang tak mau diungkapkan oleh Buddha. Keberdiaman Buddha mungkin
hanya berarti bahwa keadaan pembebasan tak dapat dilukiskan dalam
istilah-istilah pengalaman biasa.
Pertanyaan penting yang kemudian muncul disini adalah,: Bila Buddha
tidak secara jelas menyatakan tentang nasib orang yang terbebas setelah kematian,
menurut beliau apa yang diperolehnya dengan nirvàóa? Perolehannya adalah
ganda, yaitu yang negatif dan yang positif. Nirvàóa merupakan jaminan
bahwa kelahiran kembali yang kondisinya telah dimusnahkan, tak akan terjadi.
Secara positif, nirvàóa juga berarti bahwa seseorang yang telah
mencapainya menikmati kedamaian sempurna bahkan dalam kehidupan ini juga selama
ia masih hidup setelah mendapatkan pencerahan. Tentu saja kedamaian disini
bukan semacam kesenangan yang berasal dari pemenuhan keinginan. Oleh karena
itu, ia dikatakan sebagai melampaui kesenangan dan penderitaan duniawi. Tetapi,
itu merupakan keadaan ketenangan, keseimbangan dan kemilikan diri tanpa nafsu.
Itu tak dapat dilukiskan dalam istilah pengalaman biasa; sehingga cara terbaik
untuk memahaminya berdasarkan pengalaman
kita yang tak sempurna ini adalah untuk menyadarinya sebagai penyembuhan dari
segala pengalaman yang menyakitkan, yang menyebabkan kita menderita. Kita dapat
memahami hal ini karena semua dari kita telah mengalami setidak-tidaknya
perasaan sembuh dari beberapa penderitaan sementara, seperti bebas dari
penyakit, keragu-raguan, perbudakan, hukuman dan lain sebagainya. Di samping
itu, keuntungan nirvàóa dapat dinikmati sebagian, walaupun ia belum
dapat diperoleh, dengan pemenuhan sebagian dari kondisinya. Seperti yang
dijelaskan Buddha kepada raja Ajàtaúatru, dalam pembicaraan mengenai keuntungan hidup dari
seorang pertapa, dimana setiap bagian kecil kebodohan terlepaskan dan nafsu
tertundukkan, dan memberinya keuntungan yang jelas, seperti kemurnian,
kebajikan, keberanian, percaya diri, pikiran yang tenang, serta emosi yang
tenang. Hal ini memberinya semangat dan kekuatan untuk mengejar tujuan nirvàóa
yang sulit itu hingga diperoleh sepenuhnya.
Kita mengetahui bahwa guru Buddhis yang sangat terkenal
berikutnya, Nàgasena, sementara mengajar raja Yunani, Menander (Milinda) yang
menerimanya sebagai murid, mencoba untuk menyampaikan kepadanya gagasan tentang
ciri-ciri nirvàóa yang penuh kebahagiaan, dengan serangkaian metafora seperti:
nirvàóa itu sangat mendalam seperti samudra, menakjubkan seperti puncak
pegunungan, manis bagaikan madu, dsb.
Tetapi semuanya ini, seperti yang dinyatakan Nàgasena, tentu saja tidak dapat menyampaikan gagasan
tentang hal itu pada orang-orang yang belum sempurna. Penalaran dan metafora
hanya sedikit membantu meyakinkan orang buta, tentang seperti apakah warna itu.
4. Kebenaran Mulia Keempat : Jalan Pembebasan
Seperti terlihat
sebelumnya, kebenaran mulia keempat menyatakan bahwa ada suatu jalan (màrga)
- yang ditempuh Buddha dan yang lainnya dapat pula mengikutinya-
untuk mencapai keadaan bebas dari kesengsaraan. Petunjuk yang berkenaan dengan
jalan ini diperoleh dari pengetahuan dari kondisi pokok yang menyebabkan
kesengsaraan. Jalan yang disarankan Buddha terdiri dari delapan tahapan
atau aturan, sehingga disebut delapan
macam jalan mulia (aûþàògika-màrga). hal ini secara singkat memberikan
intisari dari etika Bauddha. Jalan ini terbuka bagi semua orang, para
biksu maupun orang-orang awam. Jalan mulia tersebut terkandung dalam pencarian
delapan hal baik, sebagai berikut:
Pandangan yang benar (sammàdiþþhi atau samyagdåûþi)- Karena kebodohan dengan akibat-akibatnya, yaitu pandangan yang
salah (mithyàdåûþi) tentang sang diri dan dunia merupakan akar penyebab
penderitaan kita, wajar apabila langkah pertama menuju reformasi moral harus
menjadi pencarian pandangan yang benar atau pengetahuan kebenaran. Pandangan
yang benar dinyatakan sebagai pengetahuan yang benar tentang empat kebenaran
mulia. Hanya pengetahuan kebenaran ini sajalah, dan bukan spekulasi teoritis
yang berkenaan dengan alam dan sang diri, yang menurut Buddha, dapat
membantu reformasi moral, dan membawa kita pada tujuan- nirvàóa.
Keputusan yang benar (sammàsaòkappa atau samyaksaòkalpa) - Sekedar pengetahuan kebenaran saja tak akan ada gunanya kecuali seseorang memutuskan
untuk merubah kehidupan dalam penerangan mereka. Oleh karena itu para sàdhaka yang
bermoral diminta untuk melepaskan keduniawian (segala keterikatan pada dunia),
melepaskan segala rasa sakit terhadap orang lain dan berhenti dari perbuatan
menyakiti mereka. Ketiganya ini membentuk isi dari penentuan yang benar.
Berkata yang benar (sammàvàcà atau samyagvàk) - Penentuan yang benar
hendaknya jangan tinggal sekedar menjadi ’harapan alim’ semata, tetapi
harus dilaksanakan menjadi kegiatan. Penentuan yang benar harus mampu menuntun
dan mengendalikan pembicaraan kita, untuk memulainya. Hasilnya harus menjadi
pembicaraan yang benar, yang terkandung dalam penolakan dari kebohongan,
fitnah, kata-kata yang kasar dan pembicaraan yang sembrono.
Perilaku yang benar (sammàkammanta atau
samyak karmànta) - Penentuan yang baik harus berakhir pada kegiatan yang benar
atau perilaku yang baik dan tidak berhenti hanya dengan perkataan yang baik.
Perilaku yang benar termasuk Pañca Úìla, yaitu lima sumpah untuk
berhenti dari membunuh, mencuri, berbohong, sensualitas dan mabuk-mabukan.
Mata pencarian yang benar (sammà-àjìva atau samyagàjìva) - Meninggalkan perkataan yang buruk dan kegiatan yang buruk,
seseorang hendaknya mendapatkan mata pencariannya dengan cara yang jujur.
Pentingnya aturan ini terkandung dalam menunjukkan bahwa demi untuk
menyelenggarakan kehidupannya, seseorang hendaknya tidak melakukan kegiatan terlarang
tetapi bekerja dalam kemantapan dengan penentuan yang baik.
Usaha yang benar (sammàvàyàma atau
samyagvyàyàma) - Sementara seseorang
mencoba untuk menjalani kehidupan yang diperbaiki, melalui pandangan, resolusi,
perkataan, kegiatan dan mata pencarian yang benar, ia secara terus menerus
dihentikan dari jalan yang benar oleh gagasan jahat sebelumnya yang telah
berakar dalam pikiran seperti juga oleh gagasan baru yang muncul terus-menerus.
Seseorang tak dapat maju secara mantap kecuali ia memelihara usaha yang konstan
untuk menjebol pemikiran-pemikiran jahat sebelumnya dan mencegah munculnya
pemikiran jahat yang baru. Di samping itu, karena pikiran tak dapat dikosongkan
sama sekali, ia secara konstan harus juga berusaha untuk mengisi pikiran dengan
gagasan-gagasan baik dan mempertahankan gagasan semacam itu dalam pikiran. Keempat usaha konstan yang negatif dan yang
positif ini disebut usaha yang benar. Aturan ini menunjukkan bahwa bahkan
seseorang yang tinggi dijalan ini tak akan mampu untuk bebas dari moral tanpa
mengalami resiko kemerosotan.
Perhatian yang benar (sammàsati atau samyaksmåti) - Pentingnya kewaspadaan
ditekankan lebih jauh dalam aturan ini, yang menyatakan bahwa sàdhaka
harus senantiasa mematrikan dalam pikirannya hal-hal yang telah dipelajarinya.
Ia harus senantiasa ingat dan merenungkan badan sebagai badan, sensasi sebagai
sensasi, pikiran sebagai pikiran, keadaan mental sebagai keadaan mental. Tentang salah satu dari hal tadi, ia
hendaknya jangan berpikir, “Ini adalah aku”, atau “Ini adalah
milikku.” Alasan yang logis ini tidak lebih baik dari pada meminta
seseorang untuk berpikir tentang sekop sebagai sekop. Tetapi secara lebih
menggelikan tampaknya tidak mudah untuk mengingatnya selalu hal apa sebenarnya
itu. Semuanya lebih sulit untuk melaksanakannya bila gagasan-gagasan palsu
tentang badan, dsb. telah demikian dalam berakar pada diri kita dan perilaku
kita yang didasarkan pada pernyataan palsu ini telah menjadi bersifat naluriah.
Bila kita tidak memperhatikan, kita bertingkah laku seakan-akan badan, pikiran,
sensasi dan keadaan mental adalah permanen dan berharga. Karena itu akan timbul
keterikatan terhadap hal-hal semacam itu dan sedih atas kehilangannya dan kita
menjadi sasaran keterikatan dan kesengsaraan. Tetapi perenungan pada sifat
lemah, mudah rusak, sangat menjijikkan dari hal-hal ini, akan membantu kita
untuk tetap bebas dari keterikatan dan kesedihan. Inilah pentingnya perhatian
yang konstan tentang kebenaran. Dalam dìgha-nikàya, sutta 22, Buddha memberikan
instruksi yang sangat rinci, mengenai bagaimana kontemplasi semacam itu
harus dilaksanakan. Umpamanya, dengan penganggapan badan, seseorang harus ingat
dan merenungkan bahwa badan hanyalah kombinasi dari empat unsur (tanah, air,
api dan udara) yang dipenuhi dengan materi yang sangat menjijikkan seperti
daging, tulang, kulit, isi perut, kotoran, empedu, lendir, darah, nanah dsb.
Berlanjut pada sebuah makam orang harus melihat lebih lanjut bagaimana badan
yang mati menjadi busuk, hancur, dimangsa anjing dan burung-burung Hering dan
setelah itu secara berangsur-angsur lenyap dan bercampur dengan unsur-unsur
asal. Dengan kontemplasi yang intensif semacam itu, ia mampu mengingat apa
sebenarnya badan itu: betapa menjijikkan, betapa mudahnya ia rusak, betapa
sementaranya ia! “Ia akan melepaskan segala emosi dan keterikatan palsu
terhadap badannya sendiri maupun yang lainnya.” Dengan kontemplasi intensif
yang sama tentang sensasi, pikiran dan keadaan mental yang menyakitkan, ia akan
bebas dari keterikatan dan kesedihan yang berkenaan dengan segalanya ini.
Akibat akhir dari empat serangkai kontemplasi intensif ini adalah keterlepasan
dari segala obyek yang mengikat manusia pada dunia.
Konsentrasi yang benar (samàsamàdhi atau
samyaksamàdhi) - Orang yang secara
berhasil telah membawa hidupnya menurut tujuh aturan terakhir dan dengan itu
membebaskan dirinya sendiri dari segala nafsu dan pemikiran-pemikiran jahat,
layak untuk memasuki secara bertahap ke dalam empat tahapan yang semakin dalam
dari konsentrasi yang secara bertahap membawanya pada tujuan dari perjalanannya
yang panjang dan sulit - yaitu penghentian dari penderitaan. Ia
mengkonsentrasikan pikirannya yang murni dan tenang pada penalaran (vitarka)
dan penyelidikan (vicàra) yang berkenaan dengan kebenaran dan menikmati
keadaan ini, kegembiraan dan ketenteraman, yang lahir dari keterlepasan dan
pemikiran murni. Ini merupakan tahapan pertama dari meditasi yang intensif (jhàna
atau dhyàna).
Bila konsentrasi
ini berhasil, percaya pada empat serangkai kebenaran itu muncul yang
melenyapkan segala keragu-raguan, sehingga membuat penalaran dan penyelidikan
tidak diperlukan. Dari hasil ini tahapan kedua dari konsentrasi dimana terdapat
kegembiraan, kedamaian dan ketenangan internal yang melahirkan kontemplasi yang
intensif dan tenang. Pada tahapan ini terdapat juga kesadaran tentang kegembiraan dan kedamaian
ini.
Pada tahapan
selanjutnya ia berusaha untuk memprakarsai suatu sikap tidak perbedaan, untuk
dapat melepaskan dirinya bahkan dari kegembiraan konsentrasi. Dari hal ini
berakibat jenis konsentrasi lebih dalam yang ketiga, dimana orang mengalami
ketenangan sempurna, yang berpasangan dengan pengalaman ketenangan jasmani.
Namun ia sadar akan ketenangan dan ketenteraman, walaupun netral terhadap
kegembiraan konsentrasi.
Akhirnya, ia
mencoba untuk melepaskan bahkan kesadaran akan ketenangan dan ketenteraman dan
segala rasa senang dan kegembiraan yang sebelumnya dimilikinya. Dengan
demikian, ia akan mencapai keadaan kontemplasi keempat, keadaan ketenangan
sempurna, netral dan ketenteraman tanpa penderitaan. Jadi, ia mencapai tujuan
yang diinginkan tentang penghentian dari segala penderitaan, mencapai ke-arhat-an
atau nirvàóa, yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan sempurna (prajñà)
dan kebajikan sempurna (úìla).
Untuk meringkas masalah
pokok dari delapan jalan, pertama-tama dapat dicatat bahwa jalan tersebut
mengandung tiga hal utama, yaitu perilaku (úìla), konsentrasi (samàdhi)
dan pengetahuan (prajñà) yang diusahakan secara selaras. Dalam filosofi India, pengetahuan dan moralitas
dianggap tak terpisahkan - bukan hanya karena moralitas bergantung pada
pengetahuan tentang apa yang baik, dimana semua filsuf akan sependapat, tetapi
juga karena kesempurnaan pengetahuan dianggap tak mungkin tanpa moralitas,
pengendalian nafsu yang sempurna dan keadilan. Secara eksplisit Buddha menyatakan
dalam salah satu wejangannya bahwa kebajikan dan kebijaksanaan saling
memurnikan dan keduanya tak dapat dipisahkan.
Pada delapan macam jalan salah satu berawal dengan ’pandangan yang
benar’ - semata-mata merupakan pemahaman intelektual dari empat kebenaran.
Pikiran masih belum melenyapkan gagasan-gagasan salah dan nafsu sebelumnya atau
emosi salah yang muncul dari padanya; di samping kebiasaan berpikir, berbicara
dan berbuat sebelumnya masih juga berlanjut. Dalam satu kata, kekuatan yang
bertentangan, yaitu kekuatan baru yang baik dan kekuatan jahat yang lama -
dalam istilah psikologi modern, menciptakan personalitas yang terbagi
(terpisah). Tujuh tahapan yang berawal dengan penentuan yang benar, melengkapi
disiplin berkesinambungan guna memecahkan pertentangan ini dengan memperbaiki
personalitas lama. Kontemplasi yang berulang-ulang dari apa yang sejati dan
baik, dengan melatih kehendak dan emosi, akhirnya melalui penetapan yang mantap
dan sikap yang tenang, secara berangsur-angsur mencapai personalitas yang
selaras dimana pemikiran dan kehendak serta emosi semuanya halus dan
termurnikan menurut kebenaran. Langkah terakhir dari konsentrasi sempurna
menjadi mungkin oleh lepasnya segala rintangan. Hasil dari konsentrasi yang tak
terhalangi pada kebenaran ini merupakan kebijaksanaan atau kemampuan pemahaman
yang sempurna, terhadap mana teka-teki keberadaan tampil menunjukkan dirinya
secara jelas untuk selama-lamanya. Kebodohan dan keinginan terpotong akarnya
dan sumber kesengsaraan lenyap. Kebijaksanaan, kebajikan, dan ketenangan
sempurna - yang sepenuhnya sembuh dari penderitaan - merupakan pencapaian
simultan dalam nirvàóa.
Sadhu Sadhu Sadhu
Berbagi damai
BalasHapusthanks for your info
Visit ya >>> empat kebenaran mulia
terimakasih