Jumat, 20 April 2012

Aborsi menurut Agama Buddha


ABORSI.. 
Pembunuhan Bayi VS Penyelamatan Ibu

 Samen leven (kumpul kebo), seks bebas asal suka sama suka. Ini merupakan akibat dari perkembangan dan perubahan peri-kehidupan modern dengan konotasinya yang dangkal dan dasar keimanan yang tipis

Banyak alasan atau sebab-sebab yang melatar-belakangi dilakukannya aborsi, misalnya pola hidup yang semakin permisif dimana nilai-nilai yang berkenaan dengan kehidupan seksual semakin longgar. Misalnya semen leven (kumpul kebo), free sex atau seks bebas asal suka sama suka. Ini merupakan akibat dari perkembangan dan perubahan perikehidupan modern dengan konotasinya yang dangkal dan dasar keimanan yang tipis.
Semua faktor itu menyebabkan bergesernya pandangan dan sikap orang terhadap hal ikhwal yang menyangkut nilai-nilai kehidupan. Ditambah lagi oleh perubahan kaum perempuan baik karena berlangsungnya proses emansipasi maupun karena pergeseran atau pemenuhan peran dan tugas barn sebagai pekerja dan pencari nafkah. Gerakan kaum feminis di Eropa dan Amerika misalnya, menuntut diakuinya hak-hak perempuan untuk menggugurkan kandungan. Seperti yang terungkap dalam Konferensi Wanita di Beijing, September 1995 silam. Dalam konferensi itu misalnya aborsi dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia dan hak wanita untuk mengontrol dirinya sendiri, termasuk menggugurkan kandungan. Di Amerika Serikat, perdebatan antara pro dan kontra tentang aborsi terns berlangsung Karenanya masalah aborsi ini sangat berkaitan dengan pemahaman tentang moral dan etika.
Menurut penganut paham etika deontologis, aborsi atas dasar apapun tidak boleh dilakukan. Sedangkan menurut paham etika konsekuensialis-utilitaris, aborsi boleh dilakukan kalau ada tujuan dan manfaatnya misalnya demi kesehatan si ibu. Namun dalam UU No. 22/1992 secara tegas dinyatakan bahwa “abortus atas alasan apapun tidak boleh dilakukan”. Negara Indonesia juga sudah memiliki UU khusus yang menjelaskan soal aborsi, yakni pasal 346 KUHP. Pasal ini mengancam kaum perempuan yang menggugurkan kandungannya dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara. Sedangkan dalam UU Kesehatan No. 25/ 1992, menyatakan abortus hanya boleh dilakukan jika kehamilan itu mengancam jiwa sang ibu. Dilihat dari hal tersebut dapat kita katakan bahwa berdasarkan etika, profesi dan agama manapun tidak membenarkan adanya aborsi.
Walaupun banyak undang-undang maupun etika keagamaan yang melarang adanya aborsi, dalam kenyataan di masyarakat masih banyak terjadi aborsi baik yang dilakukan oleh para remaja putri, maupun kaum ibu yang dengan alasan ekonomi keluarga, melakukan aborsi. Pelaksanaan aborsi seringkali tidak hanya melibatkan calon ibu, namun juga melibatkan ahli kesehatan dan dokter. Banyak aborsi ilegal dikerjakan para dokter yang tidak bermoral. Para dokter ini terkesan tanpa belas kasihan menjerat wanita-wanita yang putus asa dalam proses komersialisasi. Persoalan aborsi yang mengundang perdebatan itu, disamping menyangkut masalah moral dan etika yang berkenaan dengan pembunuhan dan pelaku-pelaku yang terlibat juga secara lebih mendasar berkenaan dengan persoalan makhluk hidup. Untuk itu sudah sepantasnya kita mengetahui apa yang disebut dengan makhluk, yaitu kapan terjadinya konsepsi manusia di dalam kandungan.
Dalam agama Buddha, yang dimaksud makhluk adalah gumpalan sel yang mempunyai jasad-jasad energi hidup (kekuatan karma) atau dalam kehidupan sehari-hari disebut jasad yang mempunyai jiwa. Jasad-jasad energi hidup tadi dimulai pada waktu bertemunya sel ovum dan sel sperma (sel pria dan wanita) melalui kekuatan karma, yaitu getaran-getaran karma dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa sejak terjadinya pertemuan antara sel ovum dan sel sperma yang dibarengi adanya getaran-getaran karma, maka sejak itu pula dikatakan telah munculnya makhluk. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya suatu makhluk hidup, yaitu:
1.      Mata utuni hoti; ibu masih mengalami daur haid / menstruasi.
2.      Mata pitaro hoti, ayah dan ibu hidup bersama / berhubungan.
3.      Gandhabo paccuppatthito; kesadaran ajal (cuti-citta).
Bersatunya syarat diatas serta didorong oleh kekuatan-kekuatan karma maka kesadaran ajal yang memadamkan makhluk yang meninggal akan berproses dalam patisandhi Vinnana atau kesadaran kelahiran kembali dan selanjutnya akan menjadi bhavanga citta atau kesadaran awal yang bergetar pada makhluk baru.
Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan makhluk, maka dengan tegas dapat dikatakan bahwa aborsi termasuk perbuatan membunuh, dan itu jelas melanggar sila. Yang disebut membunuh dalam agama Buddha adalah membawa akibat buruk, terlahir di alam apaya. Suatu perbuatan dikatakan membunuh apabila memenuhi syarat sebagai berikut: adanya suatu makhluk hidup, sadar bahwa itu adalah makhluk hidup, niat untuk melenyapkannya, melakukan tindakan membunuh, dan kematian sebagai akibatnya.
Seorang wanita atau pria yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan penuh kesedihan dan penderitaan. Apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia dimana saja ia akan bertumimbal lahir, umumnya tidaklah akan panjang
(Majjhima Nikaya 135)
Ada pepatah mengatakan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena itu mencegah aborsi jauh lebih baik daripada melakukan aborsi. Bagi kaum muda, sebelum terlanjur berhadapan dengan permasalahan aborsi, akan lebih baik mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang belum pantas dilakukan sehingga terhindar dari permasalahan tersebut.. Disini perlu pendidikan seks yang benar, yakni tentang kehidupan seksual yang matang seperti pengetahuan tentang perubahan yang terjadi pada pria dan wanita remaja, akibat yang akan terjadi apabila melakukan hubungan seksual, serta bagaimana menjadi insan yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, agama, lingkungan dan masyarakat.
Lalu bagaimana jika, teman kita, saudara kita menghadapi suatu kejadian yang sangat tidak kita inginkan? Andaikata nyatanya bayi yang dikandung ini memang tidak kita inginkan kehadirannya karena terdapat alasan atau latar belakang yang tidak dikalahkan lagi (akibat perkosaan misalnya), hendaklah tetap berpikir tenang, bagaimana pun juga usahakan hindari aborsi dan berpalinglah kepada agama, nilai-nilai agama merupakan pilar utama peri-kehidupan moral etika.
How can a woman be expected to be happy
with a man who insists on treating her
as if she were a perfectly normal human being

Semoga bermanfaat!
Sumber : Buku Pelajaran Pendidikan Agama Buddha Berbasis Kompetensi SMA Kelas 3

Jangan lupa LIKE n KOMEN yaa.. Makasih!

2 komentar: